Di tengah gejolak ekonomi dan naik-turunnya pasar finansial, emas kembali naik daun sebagai pilihan investasi "aman". Tak sedikit orang yang tergoda membeli emas hanya karena melihat banyak orang lain melakukannya. Fenomena ini dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out)—ketakutan tertinggal dari peluang yang tampaknya menjanjikan. Sayangnya, dorongan emosional untuk ikut-ikutan tanpa pemahaman yang matang justru bisa berujung pada kerugian. FOMO dalam investasi emas kerap membuat orang membeli di harga tertinggi, hanya karena panik tak ingin ketinggalan tren.
Emas memang dikenal sebagai aset lindung nilai (safe haven), terutama saat inflasi tinggi atau pasar saham gonjang-ganjing. Tapi seperti aset lainnya, harga emas juga fluktuatif. Mereka yang membeli hanya karena "katanya pasti untung", tanpa riset atau strategi jangka panjang, bisa saja kecewa saat harga emas terkoreksi. Terlebih, emas bukanlah instrumen yang bisa memberikan penghasilan pasif seperti dividen saham atau bunga obligasi. Nilai keuntungannya murni dari selisih harga beli dan jual—yang bisa tidak sesuai harapan jika dibeli karena terburu-buru.
Selain itu, terlalu fokus pada satu jenis aset juga bisa mengacaukan portofolio investasi. Diversifikasi adalah prinsip dasar dalam dunia investasi yang sering dilupakan saat FOMO melanda. Menaruh semua dana di emas karena tren bisa membuat kita melewatkan peluang di https://mimpi44.com yang lebih cocok dengan profil risiko dan tujuan keuangan pribadi. Belum lagi jika dana yang digunakan untuk membeli emas adalah dana darurat atau uang kebutuhan jangka pendek—yang seharusnya tidak ditempatkan pada instrumen yang volatil.
Jadi, sebelum membeli emas karena "semua orang melakukannya", berhentilah sejenak dan pikirkan: apakah keputusan ini berdasarkan strategi, atau sekadar ikut-ikutan? Emas bisa menjadi bagian dari portofolio yang sehat, tapi hanya jika dipilih dengan bijak dan penuh pertimbangan. Jangan biarkan FOMO mengendalikan keputusan finansial kita. Sebab dalam dunia investasi, langkah yang tergesa sering kali lebih berisiko daripada ketertinggalan itu sendiri.